見出し画像

Shotaro Complex (Bitter ver.)

"Bukankah sudah kubilang kalau kau tidak bisa menghormatiku sebagai kakakmu, tinggalkan rumah ini!"

Kei menundukkan kepala ketika membuka pintu utama kediaman Nakamoto, waspada kalau kakak laki-lakinya siap melempar vas bunga lagi seperti hari-hari kemarin. Tapi pemuda dua tahun di atasnya itu hanya menceramahinya sembari menyandarkan punggung di tembok, menyilangkan lengan.

Menghindari tatapan tajam sang kakak, Kei menutup pintu dan berjalan pelan menuju arah kamar tidur tanpa menyela apapun.

"Aku selalu mengajarimu bersopan santun, Kei! Bisakah kau tidak membuatku emosi sehari saja?!"

Kei mendengus. Ia berhenti di depan pintu kamarnya, membuka jaket hitam yang menutupi kemeja putih lusuh dengan beberapa bercak merah lipstick di sekitar kerah.

Anak tengah keluarga Nakamoto tersebut sudah bisa merasakan aura negatif di balik punggungnya.

"ISTRI SIAPA LAGI YANG KAU TIDURI?!"

Lengkingan Yuta tak dipedulikan. Kei memilih untuk segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan debaman kencang. Senyum kecil tersemat di wajahnya yang sedikit kusut akibat kelelahan.

"Tadaima."

Digantungnya jaket di belakang pintu sebelum berbalik untuk tersenyum pada anak berambut cokelat yang sedang menyembunyikan hampir seluruh badannya di dalam selimut kecuali separuh wajah bagian atas.

"Okaeri, Kei-nii!" Anak itu menyambut salam sang kakak antusias, mengeluarkan setengah tubuhnya yang terbalut hoodie tebal lalu mengganti posisinya menjadi duduk.

Kei tersenyum simpul, mencondongkan tubuhnya untuk mengacak surai anak laki-laki itu sampai berantakan.

"Yuta-nii sangat berisik seperti biasa," keluh yang lebih tua.

"Haha, berhentilah bertengkar dengannya."

"Tidak bisa. Aku harus terus membuatnya kesal, Shotaro~" ucap Kei lembut seraya membuka satu persatu kancing kemejanya, melempar sembarangan pakaian kumal ke sudut ruangan, yang mengundang kerutan dahi oleh anak yang dipanggil 'Shotaro'.

"Kenapa kau terus membuat Yuta-nii kesal?"

Shotaro melirik curiga pada kemeja Kei yang berbau wangi menyengat serta penuh dengan bercak bibir, sementara yang empunya sibuk mengobrak-abrik lemari pakaian mencari baju ganti.

"Itu bekas bibir yang disengaja kan? Untuk menipu Yuta-nii seolah-olah kau baru saja pulang dari rumah tante-tante." Mata Shotaro menyipit.

Kei menyeringai kecil, memakai kaus hitam polosnya dengan cepat dan kembali mengacak-acak surai sang adik. "Heh. Adik kecilku sudah jadi pria yang peka rupanya. Kau tahu sendiri aku sangat menyayangi Yuta-nii, makannya kubuat dia kesal."

Shotaro terdiam. Ia menatap lurus ke dalam iris cokelat gelap kakak keduanya itu lamat-lamat.

"Apa kau menyayangiku?"

Pertanyaan konyol.

"Tentu saja!"

Mendapati raut Kei yang bersungguh-sungguh, Shotaro tersenyum. Namun itu tak bertahan lama. Wajahnya berubah bingung seketika. "Kalau begitu kenapa kau tidak pernah membuatku marah?"

"Itu beda. Memangnya ada yang tega memarahi bayi Sho?" Kei menahan tawa ketika Shotaro mendengus seperti anak kecil yang mainannya diambil secara paksa.

"Aku bukan bayi!"

Kei meraih ujung selimut tebal yang sedang dipakai Shotaro. "Kau tahu? Di luar dingin sekali tadi. Ayo kita cuddle di dalam selimut."

Ajakan tersebut hanya direspon dengan tatapan datar oleh sang lawan bicara.

"Kei-nii...."

Tepat sebelum Kei memanjat ke tempat tidur, seruan seseorang dari luar kamar mengagetkannya.

"KEI, AKU SUDAH SUSAH PAYAH MEMASAK MAKAN MALAM UNTUKMU!!"

Giliran Shotaro yang menahan tawa.

"Hmph-" walau ujung-ujungnya lepas juga, "-hahahaha!!"

Jemari Kei menarik mulur pipi bocah yang sedang menertawainya itu sebelum ia berdiri untuk meregangkan tubuh.

"Makan dulu sana."

Si pemuda jangkung membuat gestur 'oke' dengan jarinya.

"Apa Yuta-nii sudah meminum obatnya?" tanya Kei sebelum meraih kenop pintu.

"Belum. Tapi ia tidak menangis hari ini. Setidaknya, tidak di rumah."

Perkataan Shotaro membuatnya terperanjat. Yuta tidak menangis hari ini. Itu... sebuah kemajuan yang sangat besar. Kei memperhatikan Shotaro yang memasang senyum lebar dan mengangguk, mencoba meyakinkan bahwa apa yang ia sampaikan adalah kenyataan.

Mendadak Kei merasa sangat bersemangat. Ia membuka pintu kamar dan berjalan menuju dapur yang terhubung dengan meja makan.

Ada semangkuk nasi yang masih mengepul hangat, miso shiru, dan satu porsi chicken nanban. Kei tersenyum kecil-

"Aku sungguh lelah menghadapimu."

-sebelum gerutuan Yuta terdengar dari belakangnya. Yang lebih muda berbalik, melempar kerlingan menyebalkan sebelum menarik kursi ke belakang untuk duduk.

"Tapi kau masih berbaik hati padaku, aku sangat mengapresiasinya," ucapnya tanpa menatap Yuta.

"Sudah seharusnya," jawab yang lebih tua cepat. Kei mengangkat mangkuk nasinya dengan satu tangan dan mengapit sumpit dengan tangan yang lain, siap merapal 'itadakimasu' sebelum Yuta melanjutkan, "memangnya siapa lagi yang aku punya selain kau?"

"Ah."

Keduanya serempak berhenti dan menahan nafas. Tiba-tiba udara di sekitar berubah menjadi sedikit menyesakkan.

Kei meletakkan kembali mangkuk nasi dan sumpitnya, memandang serius sang kakak yang berusaha mengalihkan wajah-tidak ingin menatapnya.

"...."

"Nii-san..."

Kei beranjak dengan cemas dari duduknya, bergegas menghampiri Yuta yang lantas mengangkat kedua tangan gemetarnya ke udara, menyuruhnya untuk berhenti. "Aku baik-baik saja, Kei."

Siapa yang percaya?

"Aku akan meminum obatku." Yuta berbalik pergi menuju kamarnya setelah mengucapkan kalimat terakhirnya lirih.

Setelah Yuta pergi, Kei kembali duduk di kursinya dalam diam. Termenung. Cukup lama ia menunggu kalau-kalau terdengar suara tangisan dari dalam kamar si sulung. Hening.

Kei menarik nafas lega. Ia memakan makanannya dengan hati sedikit lebih lapang dari malam-malam sebelumnya.


🍀


"Sho, kau sudah tidur?" Kei memanjat tempat tidur tuk berbaring pada permukaan kasur yang kosong di samping sebuah gundukan selimut.

Kepala berbulu cokelat itu mencuat keluar. Sepasang bulan sabit melengkung indah di tengah cahaya temaram. "Belum."

Kei memiringkan tubuh agar bisa menatap sepasang bulan sabit itu dengan lebih leluasa. Memandangi wajah polos Shotaro setelah hari yang berat adalah obat penghilang lelah paling ampuh untuknya.

"Apa kau ingin bicara pada nenek?"

Shotaro mengerutkan dahi. "Err... tidak. Kenapa tiba-tiba?"

Jari telunjuk Kei mengacung ke arah lemari baju di ujung ruangan, dekat pintu menuju kamar mandi.

"Dia ada di sini."

Shotaro menjulurkan lengan, menarik dengan kuat bantal yang sedang dipakai sang kakak hingga terlepas, kemudian menimpuk wajah iseng saudara laki-lakinya itu beberapa kali menggunakannya.

"Untung saja aku sudah terbiasa dengan hal-hal mistis seperti ini. Aku tidak ingin menjerit ketakutan seperti dulu lagi dan membuat Yuta-nii marah-marah di tengah malam karena jeritanku mengganggu tetangga."

"Hahaha, maaf, maaf." Kei tergelak, mengambil bantal dari tangan Shotaro dan menyelipkannya lagi di bawah kepala. "Waktu itu ekspresimu sangat lucu. Berapa tahun yang lalu itu? Tiga? Empat?"

Shotaro menunjukkan lima jemarinya.

"Lima tahun yang lalu."

"Sudah selama itu?!"

"Kei-nii, daya ingatmu sungguh payah." Shotaro menjulurkan lidah, mengejek. Kei masuk ke dalam selimut, berbagi kehangatan dengan sang adik yang tengah tertegun memandang langit-langit. "Ngomong-ngomong... apa kemampuan yang bisa melihat 'jiwa penasaran' tidak membuatmu sedih?"

Pertanyaan yang tidak biasa itu memancing perhatian Kei dalam sekejap.

"Kenapa sedih? Justru aku senang bisa melihat wajah mereka. Seakan-akan mereka tidak pernah pergi."

"Bagaimana kalau sebenarnya mereka ingin dilupakan?"

"Hah?"

Shotaro menoleh, tidak ada senyuman sama sekali di bibirnya.

"Agar orang-orang yang menyayangi mereka tidak sedih berlarut-larut, bukankah ada kalanya lebih baik dilupakan dan melupakan?"

"Hm? Jangan sok tahu." Shotaro mendesis pelan ketika hidungnya ditarik. "Bagaimana kalau mereka justru senang ketika orang yang mereka cintai bisa melihat sosok mereka lagi? Bagaimana kalau mereka bahagia karena kita bisa terus mengingat mereka?"

"Tapi kau hanya bisa melihatnya saja kan? Tidak bisa menyentuhnya. Seperti ilusi. Tidak nyata. Apa kau tidak sedih?"

Nada kecil Shotaro terdengar seperti lagu pengantar tidur, membuat Kei menguap kecil. Ia merengkuh tubuh hangat Shotaro dalam pelukannya dan menggumam, "Siapa bilang aku tidak bisa menyentuhnya?"

"Kei-nii..."

"Ayo tidur."

"Aku senang, Yuta-nii-"

"Sshh... ayo tidur. Oyasumi."

Kei memejamkan mata, sedikit memaksa Shotaro untuk tidak berbicara lebih lama. Anak itu memandangi bulu mata sang kakak yang naik turun secara teratur sebelum ikut menyamankan diri dan tertidur diiringi detak jantung yang lembut.

"Oyasumi."


🍀


"Halo, selamat pagi Nakamoto-san. Ini tentang-"

Telepon genggam berwarna hitam itu meluncur bebas dari genggaman tangan Yuta, memantul agak kasar pada permukaan tatami. Pemuda itu merosot jatuh ke lantai, kedamaian di hatinya yang baru sebentar dibangun sudah harus runtuh kembali.

"-Halo? Nakamoto-san?!"

"Yuta-nii!" Kei yang mendengar suara gaduh langsung berlari menghampiri kakaknya, merengkuh tubuh itu dalam pelukan. Di belakang Kei, Shotaro menyeret kedua kakinya, diam-diam mendekat dengan raut wajah yang sedih.

"Kei... aku tidak bisa..." Suara Yuta tercekat. Ia menjambak rambutnya frustrasi. Kei dengan kalut menahan kedua pergelangan tangan sang kakak. Matanya memerah menahan tangis.

"Kau bisa, Nii-san. Kau bisa berhenti menyakiti Shotaro."

Seperti ada pukulan tak kasat mata di dada kiri Yuta.

"Sho..."

"Ikhlaskan dia."

Untuk pertama kalinya Yuta menemukan Kei yang sama rapuh dan sama terpuruknya dengannya. Adiknya itu selalu sabar dan tidak secengeng dia. Namun kali ini, mereka berbagi derita yang sama.

Bibir Yuta gemetar. "S-Sho belum..."

"Aku sudah memaafkanmu, Yuta-nii!!" teriakan yang diikuti isak tangis itu bergema di dalam ruang pendengaran Kei. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri! Harus berapa kali kukatakan? Aku tidak bunuh diri, seseorang mendorongku!"

Kei menoleh ke belakang, menemukan sosok tubuh sang adik yang sedikit transparan tertembus cahaya matahari pagi dari jendela. Kedua bola mata yang selalu cerah dan jenaka hari ini tertutupi oleh awan mendung serta hujan deras.

Setetes air jatuh dari mata kiri Kei. Ia berbalik memandang Yuta lekat-lekat. "Sho ada di belakangku."

"Jangan bercanda."

"Inilah kenapa hubunganku denganmu tidak pernah baik, Nii-san! Hanya Sho yang mau percaya padaku! Bahkan saat kubilang ibu, ayah, bahkan nenek, datang untuk mengunjungi kita, hanya Sho yang mau diam dan mendengarkanku! Sekali saja bisakah kau percaya padaku? Demi Shotaro..."

Kedua pundak Yuta diguncang keras. Lidahnya kelu seperti ada pahit yang menginvasi indera pengecap. Kei memang jarang meluapkan perasaannya, dan sekarang Yuta baru menyadari bahwa keputusasaan selama ini telah menutupi akal sehat mereka.

"Sho tidak bunuh diri karena kecewa denganmu. Sho tidak pernah bunuh diri. Dia tidak membencimu. Dia tidak pernah membencimu meskipun kau hanya bisa meluangkan sedikit sekali waktu untuknya, tidak pernah datang ke pertemuan orang tua murid di sekolah maupun menonton kompetisi dance yang ia ikuti. Sho menyayangimu lebih dari siapapun. Dia ingin kau melupakan kesedihanmu dan melanjutkan hidup tanpa ada penyesalan."

Yuta memejamkan mata, meresapi semua kata demi kata yang Kei sampaikan.

"Kau tahu kenapa aku sering pulang larut malam hingga dini hari? Kau pikir aku benar-benar tidur dengan istri orang, huh?" Kei terkekeh kecil sambil mengusap air matanya yang berhasil lolos lagi. "Aku mencaritahu semua yang berkaitan dengan insiden itu. Semuanya akan segera terbukti. Siapapun yang menyakiti Sho kita, dia akan membayar semuanya."

" Ugh... Sho...."

Kei kembali memeluk erat saudara laki-lakinya yang seperti hilang semangat hidup.

Shotaro hampir tidak sanggup menyaksikan kedua kakak kesayangannya hancur. Kalau bisa ia sangat ingin menyampaikan secara langsung bahwa semua baik-baik saja pada Yuta, memeluknya, mengatakan terima kasih atas kasih sayang yang selama ini ia berikan, dan mengucapkan selamat tinggal dengan layak.

Tapi... bagaimana?

"Yuta-nii, aku... aku... aku sangat menyayangimu."

"Sho bilang ia sangat menyayangimu." Kei melepas bahu Yuta yang bergetar keras. Ia berbalik kemudian gantian memeluk sosok Shotaro yang menangis kencang. Ia tahu adiknya pasti sangat ingin memeluk Yuta sekarang, tetapi Yuta tidak memiliki kemampuan seperti Kei. Karenanya, Kei ingin menjadi perantara... mengantarkan hangat tubuh Yuta pada Shotaro untuk terakhir kali.

"Aku juga menyayangimu, Kei... nii," bisik Shotaro dalam nada sengau.

"Tenanglah, Sho. Kami sudah mengikhlaskanmu. Ya kan, Nii-san?"

Yuta menengadahkan wajah dan menarik nafas panjang dalam-dalam. Cukup lama sampai ia memutuskan untuk berdiri dengan kakinya, meski agak limbung dengan hati-hati berjalan ke arah handphone yang sempat jatuh dan hampir mati. Ada 29 panggilan tak terjawab dari rumah sakit. Mereka selalu mengabarkan keadaan Shotaro yang terus memburuk dan membujuknya untuk 'melepaskan' sang adik. Yuta terlampau takut akan kehilangan, tetapi sekarang ia akan mencoba belajar mengerti arti dari mengikhlaskan.

Begitu Shotaro tenang, Kei menghampiri Yuta seraya menggenggam tangan kiri Shotaro yang ringan seperti bulu dengan tangan kanannya. "Kau bercahaya, Sho."

Senyuman indah itu-meski tipis-muncul untuk pertama kalinya di hari ini. Pertanda baik, bukan?

Kei menepuk pundak lebar Yuta sebelum melingkarkan lengannya di sana, memberikan sedikit kekuatan yang mungkin akan kakaknya butuhkan. Genggaman tangannya pada Shotaro mengerat.

Yuta menatap Kei sebentar seolah menunggu persetujuan, sebelum yang lebih muda mengangguk dan membuka mulut, "Mesin-mesin itu tidak bisa menopang hidup Sho lebih lama, hanya membuat raga dan jiwanya tersiksa. Biarkan dia bahagia, Nii-san."

Nada sambung telepon berdengung dari seberang sana.

"Selamat siang, ini Nakamoto Yuta..."

Air mata si sulung kembali jatuh ke pipi, namun pemuda itu terus berusaha menguatkan diri. Kei menunduk. Ia mengamati samping kanannya yang sudah kosong. Tidak ada lagi Shotaro di sana.

Telapak tangan yang masih sedikit hangat itu diangkat oleh si empunya. Kei mengamati dengan sedikit rasa getir. Mulai saat ini keadaan pasti akan sedikit sepi. Shotaro tidak akan datang lagi ke dalam hidupnya, tidak menyapanya lagi saat ia pulang ke rumah setelah melewati hari yang melelahkan di kampus, juga tidak ada bising musik tiktok serta bocah yang menari antusias di depan cermin.

Shotaro sudah tenang di sana. Arwah yang sudah tenang tidak akan pernah datang kembali ke dunia. Terkadang, Kei harus bohong pada adik kecilnya kalau ayah, ibu, atau nenek mereka datang untuk 'berkunjung' sesekali agar Shotaro tidak merasa sedih dan kesepian saat merindukan mereka.

Tiba-tiba memori konyol itu berubah menjadi kenangan bermakna.

'Seandainya aku bisa melindungimu saat itu....'

"Ukh." Ada rasa perih di dada Kei. Ia terlalu sibuk memikirkan kondisi psikis Yuta hingga pikiran negatifnya sendiri bertumpuk di sudut kepala, meracuni otaknya. Tentang dirinya yang tidak bisa mencegah terjadinya tragedi yang menimpa si bungsu. Memikirkan hal itu membuatnya hampir limbung ke bawah dan membentur lantai kalau saja sepasang lengan Yuta tidak menopang tubuhnya tepat waktu.

Awan gelap di wajah si sulung mungkin telah membuatnya tidak sanggup meneruskan pembicaraan di telepon. Yuta menyerahkan ponsel dengan panggilan yang masih tersambung ke rumah sakit itu pada adik yang lagi-lagi harus menguatkan diri menjadi juru bicara.

Kei tahu, ia harus lebih kuat dari ini. Kakaknya membutuhkannya. Mereka hanya punya satu sama lain mulai sekarang. Jika Yuta jatuh, ia akan menopangnya, begitu pun sebaliknya. Hubungan yang renggang harus diperbaiki, kemudian memulai hari baru-dengan bahagia, sesuai yang Shotaro inginkan.


🍀


"... halo?"

"Nakamoto-san, Shotaro-kun sudah sadar dari koma-"

いいなと思ったら応援しよう!