元カレと日々を過ごしたら。。。 (If I spend the days with my ex-boyfriend...)
Jus kaleng di genggaman tangan Hokuto sedikit bengkok. Di satu tangan lainnya, kertas script nampak lecek dan sedikit basah di sekitaran jari-jari. Lipatan horizontal pada dahi pemuda berambut gelap kemerahan itu semakin nyata ketika selesai menghitung seberapa banyak adegan yang harus ia lakukan bersama Kazuma.
Kazuma, seperti biasa, berdiri di sudut yang jauh dari Hokuto sembari bercanda dan mengobrol dengan Makoto, pemuda satu tahun di bawahnya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri, katanya.
Lembaran script dilempar pelan ke atas meja sementara Hokuto menghembuskan nafas lelah, melempar punggung ke sandaran kursi. Pandangannya menerawang. Sudah bukan sehari dua hari, lebih dari tiga bulan ia dan beberapa member The Rampage lainnya mendapat kesempatan berakting untuk drama Prince Of Legend. Selama itu juga ia, yang mendapat peran sebagai Prince Of Dance, harus beradu akting lebih banyak dengan Prince Of Yankee yang diperankan Kazuma.
Bukannya ia tidak suka.
Kazuma bersikap sangat professional saat berakting atau berinteraksi di tempat kerja. Ia juga memperlakukannya dengan baik. Hanya saja...
Sejak awal Hokuto pikir beradu akting dengan mantan kekasih akan menjadi tantangan yang sedikit sulit ditaklukan. Tentu saja hubungan romantis yang dilakukannya dengan partner vokalnya itu sudah berakhir sejak beberapa bulan lalu, tetapi sampai sekarang Hokuto selalu merasa ada seperti ada yang belum selesai di antara dia dan Kazuma, entah apa itu. Maka dari itu, meskipun dirinya sendiri yang bersikeras memutuskan Kazuma, ia sendiri juga yang selalu berusaha menjauh tanpa memeriksa ulang hal apa yang mengganjal di benaknya.
Kazuma, di satu sisi bukanlah orang jahat maupun orang yang tega mengecewakan orang lain. Sebaliknya, dia adalah sosok yang lembut dan baik hati, selalu memperlakukan Hokuto selayaknya seorang lelaki pada kekasihnya. Jarang ada cekcok di antara mereka, tidak sebanyak waktu mereka masih baru dalam menjalin hubungan. Semakin dewasa, semakin bisa menghandle perasaan dan ego, itu yang Hokuto pikir. Namun justru semakin dewasa ia semakin merasa kekanakkan. Tidak ada cekcok, hanya rasa kesepian dan kecemburuan.
"Hokuto, sudah siap? Saatnya mengambil adegan di atap."
Yang dipanggil segera beranjak, merapikan sedikit rambutnya yang berantakan sebelum hair stylish-san datang dan melakukan tugasnya. Dengan rasa malas yang disembunyikan, pemuda itu menaiki tangga menuju atap di mana kru dan pemain lain tengah menunggu. Sesampainya di sana ia melihat Kazuma sedang mendapat arahan dari sutradara. Hokuto sudah menghapal kata per kata dari scriptnya, berusaha melakukan yang terbaik, karena ia tidak ingin mengulang adegan yang sama dengan Kazuma berkali-kali.
Giliran Hokuto yang mendapatkan arahan. Ia mengangguk-angguk mengerti sebelum menghela nafas dalam-dalam dan menghadapi Kazuma yang tersenyum ringan padanya.
Hokuto mengutuk dalam hati ketika satu titik di dadanya menghentakkan irama yang tak beraturan akibat senyum itu.
🍀
Jika Hokuto pikir pengambilan adegan akting pertengkarannya dengan Kazuma di atap sekolah adalah hal yang paling memalukan, maka ia benar-benar tak mampu lagi bicara ketika sang sutradara menyuruhnya melakukan hal lebih aneh demi memuaskan obsesi fangirl.
Ya, menyuruh Kazuma menggendongnya seperti seorang putri adalah ide yang sangat buruk. Itu tidak akan masuk di drama atau film, hanya cuplikan fanservice behind the scene, tetapi bayangkan yang ia rasakan. Hokuto berusaha keras untuk bersikap masa bodoh. Ia tidak peduli jika sutradara akan memarahinya. Fans dan para fujoshi harus membiarkan mereka memiliki space!
Hokuto kembali ke alam sadar ketika merasakan Kazuma berpindah ke belakang untuk meraih pinggangnya, sementara satu tangan yang lain diletakkan di balik lutut, mengangkat enteng badannya bahkan sebelum Hokuto berkata bahwa ia siap.
Apa-apaan itu?
Dihindarinya semua tatapan Kazuma sebisa mungkin. Bahkan ia tidak bisa merilekskan badan yang kaku seperti ikan asin. Teriakan beberapa gadis di lokasi syuting membuat Hokuto pusing.
Kazuma tidak paham lagi apa yang membuat Hokuto seperti begitu enggan melakukan skinship dengannya. Padahal jika dibandingkan di atas panggung atau di variety show, anak itu akan secara natural membuat kontak mata atau bercanda kecil. Apa yang membuat hal ini berbeda? Apa karena ini termasuk fanservice yang berlebihan yang tidak ia sukai?
Hokuto mengabaikan perintah sang sutradara untuk melingkarkan lengannya pada leher Kazuma, seperti melamun dengan tatapan menuju kejauhan. Kazuma berusaha menangkap tatapannya tapi sia-sia. Maka dengan sedikit iseng ia menggerakkan jemarinya di pinggang anak itu. Geliat kaget dari tubuh Hokuto membuat Kazuma menyeringai tipis. Pandangan Hokuto beralih padanya. Bingo.
Dengan sebuah isyarat, Kazuma memerintahkan Hokuto untuk melingkarkan tangannya ke leher. Awalnya Hokuto begitu malas, tetapi jika ia terus menghindar ini tidak akan berakhir cepat. Maka dengan enggan ia melingkarkan lengannya ke leher sang partner, membuat posisinya sedikit naik dan ia bisa mencium wangi tubuh Kazuma dengan jelas.
Sedikit tertegun, Hokuto menangkap leher, jakun Kazuma yang berkeringat, kemudian tatapannya meneduh. Ia sendiri tidak tahu apa yang tengah ia pikirkan.
"Hokuto, lihat ke kamera," bisik Kazuma.
Hampir saja Hokuto panik kalau-kalau Kazuma menangkap basah dirinya yang sedang memandangi jakun mantan kekasihnya itu. Hokuto memutar kepala, menangkap lensa kamera yang mengarah padanya lalu menebar senyum merekah.
'Apa kalian melihatnya? Ini aku dan mantan kekasihku.'
Suara inner-self Hokuto bergema mengagetkan di dalam otaknya yang ia pikir sudah rusak.
"Aku laki-laki, jangan perlakukan seperti ini," gerutu Hokuto.
Kazuma terkekeh kecil, "Aku tahu. Ini hanya fanservice."
Hokuto terdiam. Tentu saja ini fanservice. Kazuma di dunia nyata tidak mungkin akan melakukan hal semacam ini sesuai kehendaknya sendiri, pun Hokuto juga sama sekali tidak mengharapkannya. Selama menjalin hubungan, mereka memang nyaris tidak pernah melakukan hal-hal manis atau romantis, jadi melakukannya di saat sudah tidak memiliki status rasanya sungguh aneh dan sedikit membuat Hokuto kesal.
"Kurasa sudah cukup. Turunkan aku."
Dengan hati-hati Kazuma menurunkan Hokuto, tidak melepaskan tubuh itu sampai Hokuto menjejakkan kaki dengan kokoh di atas lantai.
"Kazuma memperlakukanmu dengan sangat lembut," komentar sang sutradara, kagum.
Hokuto hanya bisa mengangguk mengiyakan meskipun agak enggan, tetapi apa yang diucapkan sang sutradara memang benar adanya. Kazuma tidak pernah berubah. Baik perkataan maupun tindak tanduknya, semuanya lembut dan gentle. Kazuma tidak pernah menyakiti orang lain. Ia memiliki banyak poin yang membuat orang lain iri. Suaranya, cara ia menari, sopan santun, paras tampan, kebaikan hati, setiap sisi yang Kazuma miliki selalu menarik orang lain dalam pesonanya.
Jika fans atau bahkan teman-teman satu grup mereka tahu bahwa pernah ada hubungan platonik yang pernah Kazuma dan Hokuto jalin, mungkin ceritanya akan berbeda.
🍀
"Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini."
Hokuto menguap lebar. Ia menunggu sampai semua kru dan pemain meninggalkan tempat syuting sebelum merapatkan jaket tebalnya dan beranjak pergi. Malam itu lebih dingin dari malam biasanya.
Ia berniat menyetop taksi sebelum seseorang meraih pundaknya dari belakang.
"Kenapa... Kazuma?"
Dan kenapa anak itu belum pulang?!
"Kau sedang menunggu taksi? Kenapa tidak pulang denganku?" tawar Kazuma.
Hokuto mengerutkan dahi.
"Aku bawa mobil," tambahnya.
"Bukannya itu dilarang? Bagaimana kalau ada yang tahu kau mengemudi sendiri?" tanya Hokuto agak ngotot.
"Aku sudah minta izin pada manajer. Lagi pula aku punya SIM, kau kan tahu itu." Gelak kecil lolos dari bibir sang pemuda bersuara tampan.
"Tetap saja..." Hokuto melempar pandangannya ke aspal di bawah kakinya, mendadak merasa gugup.
"Ini sudah larut, besok masih ada jadwal padat menunggu kita."
Hokuto menimbang-nimbang. "Baiklah." Apa salahnya menumpang. Kazuma tersenyum, lantas melingkarkan lengannya di pundak Hokuto, berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Tidak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Hokuto terus melihat aspal. Ada yang tidak beres dengannya acap kali Kazuma menyentuhnya. Getaran-getaran kecil yang menghangat.
Kazuma segera masuk ke kursi kemudi disusul Hokuto yang membuka pintu samping. Keduanya masih memasang seatbelt dalam diam.
"Fuuh..." Kazuma menghembuskan nafas pelan, menyalakan mesin. "Seperti kencan malam saja."
"Ng?" Hokuto menoleh kaget.
"Kenapa?" respon Kazuma, menaikkan sebelah alis di balik poni hitam ikalnya yang sedikit lepek setelah seharian beraktivitas.
"Tidak," respon Hokuto cepat, menegakkan kembali posisi duduknya. Ada yang tidak beres dengan situasi ini.
Kazuma menekan tombol play pada music player, mengalunkan lagu dari grup senior mereka, Doberman Infinity, berjudul Night Drive.
"Kita berangkat?"
"Oke."
"Sebentar, tali seatbeltmu agak terbelit di bagian atas."
"Eh? Mana?" Hokuto mengikuti arah yang partner satu grupnya itu tunjuk, ujung atas seatbelt dekat kaca. Pantas saja rasanya sesak, rupanya macet.
Namun sebelum Hokuto sendiri sempat bertindak, Kazuma melepas sabuknya dan mencondongkan tubuh ke arah Hokuto, mencoba membantu.
Hokuto membeku. Wajah Kazuma begitu dekat dengannya.
"Aku tidak mau terjadi hal buruk denganmu," ucap Kazuma setelah berhasil meluruskan kembali ujung seatbelt yang macet dan berbelit. Ia menoleh ke samping, menemukan wajah manis yang sudah lama sekali tidak ia lihat sedekat ini.
Kazuma merindukannya.
"Kazuma?" Hokuto semakin yakin ketika ia merasakan masih ada hal janggal di antara hubungannya dengan Kazuma yang seharusnya sudah selesai ketika pemuda berambut hitam itu meraih garis rahangnya dan menyatukan kedua bibir mereka dalam sebuah ciuman nostalgia.
[END]
😜